Senin, 30 Maret 2009

Kabar Duka dari Tapal Batas


Pagi buta pukul 5 pada hari Jumat 27 Maret 2009
di perbatasan Banten-DKI Jakarta

Tidak ada yang aneh sebenarnya pada pagi hari itu, aktivitas rutin mulai terlihat di sudut-sudut rumah di perkampungan yang membelah kota Jakarta dan Tanggerang itu. Kampung pinggir Danau atau oleh masyarakat sekitar disebut Situ. Situ yang terletak di daerah Gintung, Cirendeu Tanggerang yang juga diberi nama sama dengan daerahnya yaitu Situ Gintung. Awal pagi itu, sama seperti pagi lainnya. Ada yang memulai aktivitas dengan beribadah sholat subuh, ada yang membersihkan halaman rumahnya, berangkat ke pasar atau bersiap menuju ke kantor bagi masyarakat yang memiliki tempat kerja yang jauh. Namun pagi itu, segalanya berubah menjadi jeritan tangis ketika ribuan liter air tiba-tiba menerjang ke arah rumah-rumah penduduk. segala yang ada tidak dapat menghalangi debit air yang semakin membesar. Air bah itu menyapu semuanya tanpa tersisa. Hanya jerit tangis dan teriakan awas air....ada air.... yang mewarnai awal pagi itu. Terjangan yang terjadi secara tiba-tiba, sebuah bencana yang digambarkan oleh Alloh SWT terjadi secara baghtatan...tidak ada yang menduga sebelumnya. Manusia mulai kembali ke asalnya menjadi makhluk individual, mereka sibuk menyelamatkan diri masing-masing dan lupa akan sanak family yang masih tertinggal. Ya, itulah sebuah bencana yang benar-benar mengejutkan publik Ibu Kota.
Tercatat 92 orang kehilangan nyawa, 100 lebih jiwa masih hilang dan ratusan orang menjadi pengungsi. Harta yang menjadi simbol, tidak berguna sama sekali pada saat itu. Nyawalah yang akhirnya lebih berharga dibandingkan dengan banda (harta). Sebelum musibah terjadi, harta seakan menjadi raja bahkan mengalahkan harga diri. Kesenjangan si kaya dan si miskin sangatlah terlihat jelas. Setelah itu semua terjadi, harta tidak lagi berharga. Rongsokan mobil mewah banyak yang menyangkut di pagar-pagar rumah atau bahkan di genteng rumah warga. Banyak rumah yang bagus, kemudian menjadi rata dengan tanah. Dan terlihat bahwa derajat manusia semuanya adalah sama. Tidak ada lagi si kaya dan si miskin setelah semua ludes habis. Yang ada adalah pengungsi yang terkena musibah, yang sama-sama membutuhkan bantuan dan pertolongan. Sebuah pelajaran berharga dari alam semesta bagi umat manusia. Agar kita menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan selanjutnya.

Turut berduka cita yang mendalam atas terjadinya musibah ini dan mudah-mudahan beban para korban akan segera teratasi melalui bantuan-bantuan para penderma, amiin.

Tidak ada komentar: